Geger Tengger
"Geger Tengger"
Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik Suku Tengger
Perubahan
ekonomi yang dialami masyarakat Tengger adalah perubh\ahan moral sekaligus
material. Bahwa terjadi alienasi antara masyarakat tradisional dengan tumbuhnya
modernisasi. Masyarakat tradisional semakin kehilangan esensi dan jati diri
mereka, diakibatkan oleh sebuah kebijakan yang dapat dikatakan berat sebelah.
Karena pemerintah lebih mendukung kebijakan yang berguna dan bermanfaat bagi
kepentingan sendiri tanpa memperdulikan etika dan masyarakat tradisional yang
telah lama eksis.
Hal ini
berdampak pada stratifikasi dan status mereka dalam masyarakat yang menimbulkan
persepsi bahwa, orang gunung identik
dengan pola kehidupan komunal serta gotong royong. Patut digaris bawahi bahwa
orang gunung bergantung pada tanahnya sendiri untuk dapat menghidupi diri dan
keluarganya. Penghormatan kepada roh-roh nenek moyang masih sering dilakukan
disamping mereka merupakan penganut Islam ortodoks (khusus bagian lereng
bawah). Dan orang dataran rendah identik dengan ke egoisan mereka.
Dampak
kapitalisme modern yang dibawa oleh penjajah memunculkan sebuah pemahaman baru
tentang pentingnya bahan mentah yang terdapat di sekitar lereng pegunungan Tengger
yang pada akhirnya berdampak pada berpindahnya penduduk kesekitar lereng
pegunungan Tengger. Kelas memainkan peran yang lebih keci; dalam konflik 65,
dibandingkan dengan agama. Circumstantial
berasal dari lingkungan setempat namun tidak selalu disadari dan tidak
tampak dan yang lain fenomenologis.
Wilayah
pegunungan sangat dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di
masyarakat sekitar. Konsep penyembahan kepada arwah nenek moyang telah ada
ketika masuknya agama Sywa Budha yang
ada ketika kerajaan Majapahit berdiri. Dan konsep tersebut berupa penyembahan
kepada dewa Gunung. Kekerasan politik
yang terjadi hampir 250 tahun mempengaruhi pola persebaran penduduk
Tengger yang tidak biasa sebelim masa kolonial.
Pembayaran pajak
berupa hasil pertanian, bukan uang yakni dengan cara menanam tanaman komersial
di sebagian tanah mereka, hal ini dilakukan ketika tahun 1825-1830 pada masa
kolonial. Gula dan kopi merupakan komoditi yang dianjurkan oleh pemerintah
kolonial untuk ditanam diladangnya. Kopi adalah barang ekspor yang paling
penting selama tanam paksa. Ekonomi politik dataran rendah mendominasi di
dataran tinggi yang berubah dari tebu ke kopi. Elit pribumi berkuasa yang
secara selektif diberikan pemeritah kolonial.
Stabilitas atau
daya tahan yang luar biasa dan model pertanian sawah memungkinkan menyerap
suatu bagian yang besar di dalam pertumbuhan populasi selama kolonialisme di
Jawa. Konsep inilah landasan mulai zaman pra kolonial hingga sekarang.
Kebijakan mempersulit orang luar untuk mendapatkan tanah supaya tidak
menimbulkan komerseliasi tanah baik untuk pertanian walaupun pariwisata oleh
masyarakat luas.
Persaingan harga
pasaran tanah sesuai dengan lokasi desanya. Harga menjadi sangat mahal ketika
tanah tersebut dekat dengan akses ke lokasi lain dibandingkan dengan harga
tanah di daerah terpencil yang berdampak bahwa daerah lereng tengah yang
mayoritas terpencil hampir tidak banyak terjadi perpindahan penduduk.
Cerita mistik
masih mewarnai sistem pertanian seperti tampak dalam munculnya sugesti penduduk
dataran tinggi bahwa berdagang dengan orang bawah untuk mendapatkan barang
mereka adalah tindakan yang dilarang.
Tanaman jagung
dibudidayakan sebagai produk komersial dan sedikit untuk konsumsi pribadi.
Kebijakan penanaman kopi mengakibatkan erosi semakin maluas yang akhirnya
memunculkan teknik monosuko dan
teknik intensifkasi tegalan untuk
mengatasi masalah erosi yang terus meningkat tiap tahunnya. Cara yang digunakan
antara lain gjik, njurug, njar gaga
pada tahap awal. Sejak permulaan abad ke XIX mulai diterapkan sebenar-benarnya
teknik intensifikasi yang sebenarnya. Tahap perdagangan masih dilakukan secara
sederhana yakni dengan sistem tebas dan
cara pengangkutan juga masih menggunakan cikar.
Pada masa
pendudukan Jepang beban penduduk semakin bertambah karena ditetapkannya pajak
pada petani dalam menjual hasil pertaniannya (kumyai). Revolusi Hijau dikaitkan
dengan hal yang serba baru, tanaman yang tumbuh lebih cepat dan secara
potensial dapat memberikan hasil yang lebih tinggi yang disebut varietas modern.
Dampak yang
ditimbulkan adalah banyaknya digunakan teknologi untuk pengembangan perkebunan
seperti penggunaan traktor, pestisida, dll yang sudah pasti berdampak pada
menurunnya tingkat kesuburan tanah dan
degradasi lingkungan.
Kepemilikan
tanah di lereng pegunungan Tengger merupakan hal yang paling fundamental itulah
sebabnya hal tersebut menjadi persoalan ketika munculnya ladang yang
membutuhkan tenaga kerja untuk mengolah tanah tersebut. Sedangkan kepemilikan
tanah di Tengger merupakan tulang punggung suatu keluarga dalam menghidupinya.
Menjadi persoalan ketika adanya buruh
yang mengolah tanah tersebut yang yang biasanya tanah tersebut diolah dengan
tenaga sendiri. Kepemilikan tanah juga merupakan cerminan dari status sosial
dan kepemilikan tersebut turun temurun diwariskan ke anak cucu. Munculnya
sistem sewa tak bisa lepas dari sistem kolonial saat itu sehingga di berikan gap yang jelas antara sang pemilik tanah
dengan penyewa tanah.
Perubahan yang
terjadi lereng pegunungan Tengger berimplikasi kepada tingkat konsumsi
masyarakat misalnya, memasak makanan dari luar lebih disenangi masyarakat
lereng atas ysng hal ini menunjukkan oerientasi yang berbeda dari pada petani
miskin, yang dampak lebih lanjutnya berimbas kepada kesehatan fisik, kesuburan,
kematian bayi yang akan berkembang menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.
Kemandirian
dalam membina rumah tangga, adalah inti dari pewarisan wilayah di Jawa,
terutama pewarisan tentang kepemilikan tanah. Pencirian masyarakat dataran
tinggi yang stereotip yang menganggap
bahwa kepala suku merupakan pemimpin yang tertinggi. Persembahan kepada roh
nenek moyang memperlihatkan bahwa tingkat kepercayaan mereka kepada hal yang
Maha Tinggi oleh karena itulah diadakanlah ritual berbagai ritual untuk
menghormati keberadaan mereka misalnya dengan acara slametan.
Santri dan
abangan mewarnai konflik yang terjadi di era 65 yang ketika itu orang dataran
rendah lebih diwakili oleh golongan santri dan orang lereng pegungungan Tengger
yang diwakili oleh golongan abangan. Konflik politik juga mewarnai perubahan
sosial di lereng pegunungan Tengger yakni NU dengan santrinya dan PKI dengan
abangannya. Hal itulah yang menjadi konsep dasar perubahan sosial dalam
masyarakat Tengger pada tahun 65.
Komentar
Posting Komentar