HISTORISISME (Kegagalan Ilmu Sosial Untuk Meramalkan Jalannya Sejarah)
HISTORISISME
(Kegagalan Ilmu Sosial Untuk Meramalkan Jalannya Sejarah)
oleh
Septa Rahadian
Historisisme,
sebuah aliran yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk
meramalkan perkembangan sejarah dengan cara menemukan “ritme” atau “pola”, “hukum” atau “trend” yang menentukan jalannya
sejarah. Sedangkan selama bertahun-tahun, ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena
bagi sejumlah kritik, dimana kritik yang dikemukakan adalah keraguan tentang
kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial (sosial enginering) karena, “ilmu-ilmu sosial
adalah tidak mungkin” sampai kepada rasa ngeri terhadap kegiatan kegiatan ahli
ilmu-ilmu sosial, karena “terlalu banyak pengetahuan sosial yang akan
membahayakan kebebasan manusia.
Dalam aliran
historisisme itu sendiri terdapat dua aliran yang bertentangan, sebagai akibat
dari kesalahan pemahaman atas metode fisika. Kenapa harus metode fisika yang
dijadikan dasar untuk melihat bahwa sebuah kebenaran harus berdasarkan ilmiah
?. Hal ini tidak bisa lepas dari salah satu hukum ilmu-ilmu sosial ”jika memang
ada” paling jauh hanya berupa semata-mata kemungkinan (probabilistik). Hal ini
dikarenakan bahwa rumitnya gejala sosial yang dihadapinya. Sesuai dengan
pandangan holisme bahwa semua kelompok sosial mempunyai tradisi, institusi, dan
adat serta kebiasan tersendiri yang tidak dapat dilihat sebagai satu personal
saja, tetapi secara universal dan menyeluruh.
Suatu pandangan
mengenai ilmu sosial adalah tidak mungkin untuk menangkap perilaku manusia. Dalam
hal ini bukan saja perilaku manusia yang terlalu kompleks “untuk ditangkap”
tetapi juga terlalu rumit. Karena menurut pandangan anti naturalis bahwa,
manusia adalah makhluk yang berkembang jadi masyarakat tersebut tidak stagnat
dan juga tidak tidak terikat ruang dan waktu. Walaupun dalam perkembangannya
manusia melupakan kejadian masa lalunya yang dianggap sebagai hal biasa. Tetapi
justru itulah menemukan sesuatu yang baru dalam hidupnya, dianggap sebagai
kondisi yang benar-benar baru, dan hal inilah yang sulit diramalkan oleh ilmu
sosial, karena sifatnya yang probabilitas. Di lain pihak bahwa sebuah ramalan
jika dilihat dari sudut pandang teoritis maka secara ilmu sosial, hal tersebut
dapat dibenarkan. Karena pada dasarnya pembuktian empirik dari teori tersebut adalah
berdasarkan pengalaman dan itu menyimpulkan bahwa, suatu saat pasti akan
terjadi hal apa yang telah diramalkan
Tuduhan yang
dilemparkan Poper bahwa historisime mengalami kegagalan adalah tidak bisa lepas
dari arti historisime itu sendiri, yang berusaha menuliskan bahwa ilmu sosial
telah dianggap gagal untuk mereproduksi kenyataan yang menjadi fungsi dari pada
ilmu itu sendiri. Pada hakekatnya kesalahan ini terletak pada kekacauan antara
sebuah deskripsi dengan apa yang dideskripsikan. Jadi dasar tuduhan bahwa
“kenyataan adalah terlalu rumit untuk ditangkap” adalah terletak pada kekacauan
tentang pernyataan keilmuan dalam hubungan dengan apa yang dideskripsikan dalam
dunia yang sebenarnya.
Dari paparan
tersebut jika ditarik dalam ranah prognose, menjadi persoalan yang baru, baru
dalam hal ini bahwa bukan hanya komplexnya struktur sosial, tetapi juga
kerumitan khas yang unik, yang muncul dari hubungan antara ramalan dengan
kejadian yang diramalkan. Keadaan masyarakat yang rumit tidak bisa lepas dari
keadaan industri, kekayaan dan pembagiannya, pembagian masyarakat atau kelas,
dan hubungan antara kelas. Semua keadaan tersebut mendorong piecemal
engginering untuk mempunyai bayangan masyarakat yang ideal sebagai suatu
keseluruhan, meskipun ia tidak setuju jikalau diadakan perbaikan secara
keseluruhan. Gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alami.
Oleh karena itu dapat dikatakan jika seperti halnya ilmu alam yang telah
memberi pengetahuan tertentu yang dapat mereka gunakan untuk mengendalikan lingkungan alami mereka,
demikian juga pengetahuan yang diperoleh dari ilmu sosial akan memungkinkan
manusia mengendalikan lingkungan sosial mereka, dengan demikian menjadikan
lingkungan tersebut lebih harmonis dan sesuai dengan kebutuhan serta keinginan para
anggota lingkungan itu. Yakni masyarakat dengan berbagai keadaan rumit di atas.
Dalam menentukan
jalannya sejarah ketika dihadapkan dengan kenyataan, akan kita harus melihatnya
sebagai sesuatu yang apa adanya sama seperti apa yang dideskripsikan dalam
dunia yang sebenarnya. Di dalam ilmu-ilmu sosial, kita menghadapi interaksi
yang rumit dan luas antara pengamat dengan yang diamati, antara subyek dangan
obyeknya. Dan itu juga membuat kesadaran akan prognose juga akan berpengaruh
terhadap apa yang akan diramalkan.
Ilmu sosial
dalam menangkap (yakni memproduksi atau memberikan gambaran psikologis yang
ekivalen) dianggap telah mengalami kegagalan. Seperti bagaimana interaksi
sosial masyarakat dengan pemerintah, ataukah kebimbangan sendu dari seorang
remaja, seringkali kegagalan tersebut bersifat bagaimana dalam membedakan
pernyataan beserta sistematika yang dipakainya dengan gejala sosial yang dinyatakan oleh peristiwa tersebut.
Menentukan ritme
berdasarkan ilmu sosial dianggap tidak menemukan sebuah alur yang jelas.
Prognose yang dianggap sebagai interaksi sosial tidak mampu menjabarkan masa
yang akan datang dari proses interaksi sosial tersebut. Sebuah anggapan yang
sangat menentukan jalannya sejarah adalah manusia itu sendiri. Akankah membawa
ke dalam progres atau regresi? Pemikiran yang menganggap bahwa pemunculan
mutlak mengemukakan bahwa beberapa peristiwa, pada prinsipnya tidak dapat
diramalkan (atau dengan kata lain, terdapat peristiwa-peristiwa yang
peramalannya secara logis tidak mungkin), karena mereka tidak dihubungkan
dengan peristiwa-peristiwa lainnya dalam suatu bentuk yang berupa hukum. Di
pihak lain, pemunculan relatif mengemukakan bahwa deisebabkan keadaan-keadaan
tertentu (seperti tingkat perkembangan teknologi atau pengetahuan kita, atau tidak
terjangkaunya gejala oleh pengamatan kita pada suatu waktu tertentu), secara
teknis adalah tidak mungkin untuk meramalkan peristiwa tersebut.
Historisisme
berlandaskan suatu kesalahan, karena ilmu-ilmu sosial, seperti halnya ilmu,
hanya dapat memberi hukum bersyarat, dan hukum bersyarat ini hanya dapat
digunakan bagi prediksi yang tak bersarat pula. Apabila persyaratan yang
terdapat di dalam permasalahan dianggap sudah ada, untuk alasan inilah prediksi
tak bersarat jangka panjang hanya mungkin dilakukan. Dan apabila sistem-sistem tempat prediksi itu
ditempatkan terisolasi dengan baik, untuk tetap berulang-ulang (sebagaimana
sistem tata surnya misalnya). Kembali lagi bahwa jika ilmu tidak dapat
mereproduksi kenyataan maka dianggap gagal.
Levi Strauss berpendapat
bahwa sejarah adalah sebuah hal yang kebetulan, menjadikan ramalan sejarah
untuk masa depan menjadi tidak diperlukan lagi. Kenyataannya untuk membangun
sebuah bangsa atau masyarakat kita harus berpijak pada masa lalu untuk menapaki
masa kini dengan penuh kearifan, dan sebagai cerminan untuk masa depan. Padahal
sebuah prognose adalah ilmiah jadi harus berlandaskan atas hukum-hukum sejarah.
Dan bahwa hukum sosiologi yang sebenarnya adalah hukum sejarah. Ramalan sejarah
tidak bisa lepas dari sosial engginering, yang tugasnya adalah berupa
pembangunan lembaga-lembaga, yang bertujuan menahan, mengontrol, atau
mempercepat munculnya perubahan sosial tertentu. Seorang perekayasa sosial
percaya bahwa terdapat hukum-hukum empiris dalam pengembangan historis, dan
fungsi ilmu sosial adalah membuat prediksi-prediksi tanpa syarat mengenai
perkembangan seluruh masyarakat atau bahkan seluruh umat manusia. Karena itu
mereka menugaskan perencana untuk melakukan penerimaan tahap perkembangan
historis yang akan datang dan bagaimana mananggulangi rasa sakit dari proses
perkembangan tersebut.
Pada akhirnya
didapatkan dua perbedaan mendasar antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial. Bahwa
ilmu sejarah itu bersifat temporal dan
spasial terikat pada ruang dan waktu sedangkan ilmu sosial a temporal dan a spasial tidak terikat
ruang dan waktu. Ilmu sejarah lebih mengikuti kronologi (diakronik), sedangkan ilmu sosial bersifat analistis (sinkronik)
sehingga dapat mengungkapkan hubungan saling ketergantungan. Ilmu sejarah
banyak membicarakan suatu ide misalnya tentang marxisme, bagaimana marxisme
mempengaruhi ideologi berpikir kawula muda saat ini. Sedangkan ilmu sosial
menempatkan pada tataran yang dihitung misalnya masih mengenai marxisme,
bagaimana perjuangan kaum buruh atau ploretar untuk mempertahankan hidupnya.
Juga yang paling penting adalah sejarah tidak dapat membuat kesimpulan umum
(partikularistik), sedangkan ilmu sosial dapat membuat kesimpulan umum
(generalisasi)
Dan itulah yang
disebut oleh Popper “Gagalnya Historisisme”, karena ilmu sosial tidak dapat
menentukan jalannya suatu peristiwa historis. Dan pola itu sendiri tidak
berpengaruh pada sejarah seperti apa yang dikatakan Strauss “sejarah sebuah hal
yang kebetulan”. Dan dari situlah dapat ditarik sebuah kesimpulan yang sifatnya
universal bahwa manusia adalah bagian serta pelaku sejarah. Bagaimana manusia
akan menuliskan sejarahnya? Tergantung dari manusia itu sendiri. Karena dalam
diri kita sendiri memiliki sejarah masing-masing yang bermanfaat bagi kearifan
kita di masa yang akan datang.
Daftar Rujukan
Fay, Brian. 1991. Teori Sosial
dan Praktik Politik . Jakarta: Graffiti
Fay, Brian. 2002. Filsasat Ilmu
Sosial Kontemporer. Yogyakarta: Jendela
Kellner, Douglas Dr. 2003. Teori
Sosial Radikal. Yogyakarta: Syarikat
Popper, Karl R. 1985. Gagalnya
Historisisme. Yogyakarta: LP3ES
Suriasumatri, Jujun S. 1989. Ilmu
dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Strauss, Levi’s. 2000. Ras dan
Sejarah. Yogyakarta: LKIS
Komentar
Posting Komentar